Apa kabar, teman-teman?
Gelas, gantungan kunci,
magnet kulkas, gunting kuku, serta kumpulan foto yang jumlahnya mungkin seratus
lebih tentang Kuala Lumpur, merupakan hal yang tersisa dari traveling saya ke sana di bulan April
lalu.
Cuma itu? Pastinya
enggak. Tiap kali melihat semuanya, Kuala Lumpur selalu mengingatkan saya akan
kebaikan yang luar biasa dari seorang teman yang (hanya) mengenal saya melalui instagram.
14
Desember 2016
Mba Nita, aku minta
alamatnya ya. Mau ngirim gantungan kunci.
Demikian sebuah pesan
yang saya baca di kolom pesan instagram.
Saya balas pesan itu dengan menuliskan, kenapa harus repot-repot ngasih saya
oleh-oleh? Apalagi sampai harus dikirim dari Solo segala. Katanya nggak apa-apa
karena memang udah disiapkan.
Saya pun menulis alamat
lengkap. Lalu di tanggal 23 Desember 2016, paket dari Solo itu datang, yang
nggak cuma gantungan kunci aja, tapi juga gunting kuku, magnet kulkas, serta cokelat
almond yang semuanya tentang Kuala Lumpur,
sebuah daerah di mana teman saya ini berjodoh dengan lelaki sana, serta menetap
selama 15 tahun lebih bersama suami dan anak-anak.
Kembali saya bilang
terima kasih yang nggak lupa diakhiri dengan kalimat; semoga suatu saat nanti
kita akan ketemuan di Kuala Lumpur. Kenapa nggak langsung saya temui aja di
Solo? Saya bukan orang kaya yang bisa liburan seketika, haha... Perlu
berbulan-bulan bagi saya untuk menabung walau cuma untuk traveling murah.
Pekan
ke empat Februari 2017
Nit, awal April gue mau
bawa rombongan ke Kuala Lumpur. Mau bareng, nggak? Beli tiket pesawat aja gih.
Penginapan dan transport nebeng aja.
Sebuah pesan kembali
saya dapat yang kali ini dari kolom pesan WhatsApp.
Karena memang rezekinya kebetulan lagi ada, saya pun mengiyakan. Selesai
beli tiket pesawat, saya pun mengabarkan pada “teman instagram” kalau saya akan ke sana dan di hari pertama di Kuala
Lumpur nanti, saya nggak akan ikut rombongan teman ke Sunway Lagoon.
Pastinya saya senang
banget ketika dia bilang, bisa temenin saya untuk mengunjungi beberapa tempat
“wajib” di Kuala Lumpur, kayak ke KLCC Park dan Dataran Merdeka.
15
April 2017
Pada akhirnya, sampai
juga saya menjejak di Kuala lumpur, sebuah daerah di luar negeri ini yang
menjadi alasan saya untuk bikin paspor. Walau setelah paspornya jadi, empat
tahun yang lalu, Allah belokkan dulu mimpi saya dengan mengecap paspor di
Singapura dan Melaka.
Kurang lebih jam
sembilan waktu Kuala Lumpur, “teman instagram”
saya pun akhirnya datang ke sebuah hotel di daerah Bukit Bintang, tempat saya
menebeng nginap sama teman dan dua anaknya.
Di lobby sebuah hotel itu pada akhirnya sebuah kalimat yang juga
menjadi doa saya dikabulkan Allah. May we
weet in Kuala Lumpur... dan pagi itu saya pun akhirnya bisa ketemuan dengan
Mba Cici, “teman instagram” saya.
Keluar dari lobby hotel, yang tadinya rencana kami
akan ke KLCC Park dengan LRT pun batal, karena Mba Cici bilang kalau suaminya mau
nganterin kami ke sana.
“Kenapa harus
merepotkan Pak Cik?” tanya saya sewaktu kami berjalan keluar hotel.
“Biarin aja. Dia bilang
mau nganterin. Ya udah...” balas Mba Cici sembari ketawa.
Kami pun berangkat
menuju KLCC Park di pagi akhir pekan yang belum macet. Secara bergantian,
mereka berbagi cerita banyak tentang bangunan di kanan kiri jalan, juga
tentang sekolah dan pendidikan di sana.
Saya menyimak
sembari ngomong dalam hati. Saya udah kayak private
tourist, haha... dan kok ada ya orang-orang sebaik ini sama saya, padahal
cuma sekedar kenal, di social media
pula.
Tiba di KLCC Park, saya
dan Mba Cici turun dari mobil. Ketika bilang terima kasih pada suaminya, Mba Cici bilang,
nanti aja bilang terima kasihnya karena kami masih akan diantar sampai ke
Dataran Merdeka. Kembali saya melongo.
Bersama Mba Cici di KLCC Park |
Selfie
dengan background gagahnya Petronas
Twin Towers, berjalan sembari melihat-lihat cantiknya kolam dengan air mancur
di tengahnya, taman, jembatan untuk orang-orang lari pagi atau sekedar berjalan-jalan seperti kami, kolam renang yang
cukup banyak peminatnya, serta playground
yang cukup luas dan aman untuk anak-anak. Semuanya cakep-cakep.
Puas menatap segala
keindahan di KLCC Park, Mba Cici bilang kalau selanjutnya kami makan siang
dulu di Jalan Pahang. Makan pagi menjelang siang sebetulnya, haha... di sebuah
restoran melayu self service milik
seorang sutradara terkenal di Kuala Lumpur.
Selesai makan, saya pun
tanya ke Mba Cici, di mana tempat kasirnya. Mba Cici bilang kalau semuanya udah
dia yang bayar.
“Ringgit saya ada kok,”
kata saya.
“Nggak apa-apa, simpan
aja ringgitnya,” balasnya sembari mengajak saya menuju mobil, karena Pak Cik
suaminya udah menunggu.
Perjalanan kami lanjut menuju Dataran Merdeka. Di siang yang sangat sangat terik, menjejaklah
kami di beberapa tempat cantik di area Dataran
Merdeka. Melihat antrian orang-orang yang pingin berfoto dengan tulisan I love KL di KL City Gallery, Central Market sembari menikmati teh tarik di sebuah
kedai kopi, sholat dzuhur di Masjid Jameek, lanjut berjalan kaki di Petaling Street, hingga ke Sri Mariamman
Temple -menyaksikan semacam salah satu ibadah umat Hindu bersama pengunjung lainnya.
Bersama Mba Cici di Sri Mariamman Temple |
Badan, terutama kaki
yang super lelah tapi menyenangkan luar biasa. Selanjutnya saatnya kami pulang
menuju Bukit Bintang dengan LRT. Mba Cici mengajarkan saya cara beli tiket LRT
yang bagi saya sedikit lebih rempong ketimbang MRT di Singapura, haha... Dan
lagi-lagi, saya tak boleh keluar uang.
Setelah transit di KL
Central, lanjut perjalanan kami ke Bukit Bintang. Senja sekitar jam enam dengan matahari yang masih menyala. Sebelum pulang, Mba Cici mengajak saya ke Sungei Wang
yang tinggal menyeberang aja dari hotel, untuk makan malam di sebuah food court di sana.
Kembali saya memesan
nasi lemak dan teh tarik seperti makan siang. Pokoknya selama di sana, saya
puas-puasin makan nasi lemak dan teh tarik, karena mungkin akan butuh waktu
lama lagi bagi saya untuk bisa menikmati keduanya di negerinya langsung.
Rasanya sekitar 10an
ringgit makan minum ini, dan Mba Cici yang bayar semuanya.
“Ringgit Mba Cici habis
banyak ya karena saya datang ke sini?” Tanya saya, lagi dan lagi.
“Kan udah aku bilang,
kalau aku lagi ada, ya ada. Lagian Mba Nita juga nggak ke sini tiap hari kan.”
Selesai makan, kami
balik ke lobby hotel. Mba Cici pun
pamit pulang. Saya mengucap terima kasih untuk semuanya dan maaf kalau saya
merepotkan sekali. Udah ditemani jalan-jalan, ditaktir pula, plus dikasih
oleh-oleh pashmina dan sekotak besar cokelat.
Satu hari bersama Mba
Cici di Kuala Lumpur, begitupun dengan Mba Pipiet, teman yang menumpangkan saya kamar hotel dan kendaraan selama di hari kedua dan ketiga, merupakan sebuah traveling
yang makin mengingatkan saya bahwa apapun yang dijalani mesti penuh ketulusan.
Bantu orang lain dan tebar kebaikan sebanyak mungkin, lantas lupakan. Tak perlu
menuntut harus dibalas yang sama, seketika oleh orang yang sama.
Karena suatu saat
nanti, mungkin akan ada kebaikan yang luar biasa yang diberikan orang lain, bahkan
oleh orang yang nggak disangka-sangka, oleh orang yang belum pernah saya temui
sebelumnya.
Bersama Mba Pipiet di Jonker St, Melaka |
Ayo ke Kuala Lumpur
lagi. Kita sekalian ke Penang yuk, komen Mba Cici ketika saya melihat-lihat
postingan fotonya.
Traveling
lagi ke Kuala Lumpur, apalagi lanjut ke Penang, pastinya akan menyenangkan.
Sekarang saya nabung-nabung dulu sembari hunting
tiket pesawat murah, biar bisa balik menjejak ke
sana dan ketemuan sama Mba Cici lagi.
Terima kasih banyak ya,
teman-teman, udah mampir. Moga impian traveling
kita semua selanjutnya terkabul ya di saat yang tepat.
No comments:
Post a Comment
Hai, temans... Makasih banyak ya udah mampir. Semua komen lewat jalur moderasi dulu ya :D Don't call me "mak" or "bund", coz I'm not emak-emak or bunda-bunda :P